Lanjut ke konten

REVIEW ARSENAL 2016/2017 OLEH SEORANG FANS YANG (TERNYATA) MASIH CINTA

Praya, 13 Juni 2017

Performa Arsenal FC di klasemen Liga Premier Inggris musim 2016/2017 memutus rekor mereka yang selalu finish di zona liga champions sejak musim 1997/1998. Lebih buruk lagi, Arsenal berada di bawah Tottenham Hotspur, rival abadi sekota mereka, hal yang terakhir kali terjadi di musim 1994/1995. Hiburan bagi fans musim ini hanyalah juara Piala FA untuk ketiga kali dalam empat tahun terakhir, menjadikan klub sebagai pemegang rekor juara Piala FA terbanyak dengan 13 piala. Tidak buruk juga, mengingat di final Arsenal melumat Chelsea, tim juara liga yang sedang panas-panasnya. Tapi fans terlanjur mengharapkan lebih. Klub sebesar Arsenal terakhir kali meraih juara liga di musim 2003/2004 dengan tim invincible-nya. Setelah itu, nihil. Fans telah dibuat terlalu lama menunggu. Final Liga Champions 2006 hampir saja mencetak sejarah, namun apa daya harus diakui Barcelona lebih kuat dari segi mental juara.

Jadi, apa yang salah dengan Arsenal di musim lalu? Apa betul semua salah Arsene? Dan ketika Sang Professor memutuskan memperpanjang kontraknya untuk dua musim ke depan, apa yang harus diperbaiki? Mari kita bahas setiap lininya.

 

Arsene Wenger

“Wenger Out” sudah jadi istilah yang ramai disebarkan orang via media sosial. Dijadikan meme, dipasang sebagai spanduk dan poster di tempat-tempat yang jauh lokasi dan hubungannya dengan sepakbola, dan sebagainya. Tapi kalau boleh jujur, sebagai fans saya tidak berharap Wenger pergi –atau lebih tepatnya, saya takut tidak akan ada pengganti yang sekelas dengan beliau. Selama 20 tahun lebih menangani Arsenal sampai menjadi pelatih klub liga top dunia terlama sepanjang masa, terbukti Wenger selalu punya solusi. Selalu berada di posisi empat besar beberapa musim terakhir harus diakui adalah pencapaian luar biasa mengingat Arsenal dihimpit kekuatan finansial klub-klub ‘lama tapi baru’ yang dengan bergelimang bintang lantaran dimodali besar. Chelsea, Manchester City dan sekarang Tottenham dengan mudah bisa bongkar pasang pemain dan membeli pemain bintang dengan harga mahal, sesuatu yang tidak pernah dipraktikkan oleh Wenger, lantaran pembangunan stadion baru Ashburton Grove (yang sampai 2028 akan dinamai Emirates Stadium) memakan terlalu banyak biaya. Pun dengan kondisi ini Wenger tetap saja bisa mendapatkan satu-dua pemain bintang dari musim ke musim. Dari Santi Cazorla, Alexis Sanchez, Mesut Ozil, dan terakhir Shkodran Mustafi.

Sayangnya, musim kemarin solusi ini datang terlambat. Tatkala Manchester United, Manchester City dan juara Chelsea sudah memasang formasi tiga bek sejak sebelum tahun baru, Arsenal masih berkutat dengan 4-5-1/4-3-3 yang telah terbiasa dibaca oleh lawan. Baru ketika musim dua bulan lagi akan berakhir, Arsenal baru menerapkan 3-6-1 yang terbukti hasilnya lumayan bagus. Dengan formasi baru, tentunya pemain perlu beradaptasi lagi. Tapi sisi positifnya, formasi baru dapat memunculkan potensi beberapa pemain yang selama ini tenggelam. Hasilnya, kompetisi dalam tim semakin ketat, kepercayaan diri pemain menjadi lebih besar, akhirnya kedalaman skuad semakin baik. Chelsea contohnya di posisi wingback berhasil mengorbitkan kembali Victor Moses dan Marcos Alonso, dua nama yang selama ini jadi penghangat kursi cadangan maupun jadi sasaran untuk disodorkan sebagai pinjaman ke klub lain. Bagi Arsenal sendiri, formasi tiga bek menaikkan nama Rob Holding, Granit Xhaka, dan Alex Oxlade Chamberlain ke permukaan dengan posisi baru mereka.

Saat ini Arsene Wenger telah memperpanjang kontraknya. Sebagian besar fans yang sepanjang musim meneriakkan ‘Wenger Out’ mungkin kecewa, tapi di dalam lubuk hati terdalam mereka tahu bahwa Wenger masih orang terbaik di posisinya. Sekarang tinggal memperbaiki tim. Pembangunan stadion telah selesai, dana besar tersedia untuk dibelanjakan. Mari kita bahas potensi lineup Arsenal di musim depan.

 

Penjaga gawang

Apa yang paling membedakan tim di musim tak terkalahkan 2004 dengan musim-musim selanjutnya? Jawabannya posisi kiper yang seringkali berganti dari musim ke musim. Saya merindukan Jens Lehmann. Secara tehnik mungkin Lehmann bagus tapi tidak istimewa. Tapi yang paling terlihat adalah caranya mengatur para bek. Entah para kiper Jerman diberi makan apa, tapi mereka luar biasa dalam urusan meneriaki bek yang lamban mengisi ruang atau menjaga lawan. Lihat Lehmann atau bahkan Oliver Kahn yang galaknya minta ampun. Kiper Jerman saat ini Manuel Neuer, mungkin tidak segalak senior-seniornya, tapi dia bisa melakukan clearance sendiri ke tengah lapangan. Jadi commanding goalkeeper adalah wajib. Hobi teriak-teriak yang sama juga dimiliki David Seaman, kiper tersukses bersama Arsenal yang asli orang Inggris. Sepeninggal Lehmann, Arsenal tidak punya kiper senior dengan kaliber yang sama. Manuel Almunia cuma cocok jadi cadangan, Lukasz Fabianski terlalu muda saat itu, Wojciech Szczesny kebanyakan gaya, dan David Ospina terlalu pemalu. Sekarang dengan Petr Cech, Arsenal punya sosok senior yang dihormati di lini belakang. Tapi masa jayanya telah lewat. Apalagi Cech tidak sebawel Seaman atau Lehmann. Solusinya mungkin adalah membeli kiper muda dan memupuknya semingga menjadi komandan di belakang, atau membeli kiper senior baru yang ‘galak’ sebagai pesaing Cech. Tentunya dengan kualitas yang mumpuni.

Kesimpulan:

Petr Cech – Keep

Davis Ospina – Sell

Damien Martinez – Keep

To buy:

Kasper Schmeichel, Joe Hart, Jordan Pickford

 

Bek Tengah

Sekali lagi masalah komando, setelah masa Tony Adams, Martin Keown, dan Sol Campbell, Arsenal tidak punya komandan utama di lini belakang. Kolo Toure bukan pemimpin sejati, William Gallas terbukti bukan kapten yang baik, dan Sebastien Squillaci adalah sebuah kesalahan. Penjagal utama di lini belakang saat ini, Laurent Koscielny secara teknik sangat baik. Dia cepat, pintar dan kuat, tapi dia bukan sosok pemimpin yang tepat. Harus ada pembelian bek tengah yang memiliki karisma lebih besar dari Koscielny, sebagai pendamping sekaligus penggerak dia di pusat pertahanan. Per Mertesacker adalah orang yang tepat sebenarnya, tapi kualitas permainannya sudah sangat menurun. Shkodran Mustafi yang menjadi partner Koscielny saat ini, bertipe kurang lebih sama dengan Lolo, hal yang membuat koordinasi lini belakang seringkali saling tunggu. Dengan umur yang masih muda, Mustafi bisa berkembang lebih hebat dari seniornya, tapi sepertinya masih perlu waktu. Gabriel yang sempat menjadi pilihan utama di beberapa pertandingan menunjukkan performa yang stagnan, tidak sedahsyat saat pertama kali dibeli dari Villareal. Solusinya adalah membeli bek tangguh senior yang bisa jadi pendamping Koscielny sekaligus pesaing bagi Mustafi.

Kesimpulan:

Laurent Koscielny – Keep

Shkodran Mustafi – Keep

Per Mertesacker – Sell

Gabriel – Sell

Rob Holding – Keep

To Buy:

Kamil Glik, Benedikt Höwedes, Gary Cahill (ngarep)

 

Bek Sayap

Saat tulisan ini dibuat, Arsenal telah mendapatkan seorang pemain baru yaitu Sead Kolasinac yang diperoleh tanpa biaya dari Schalke 04. Berposisi utama sebagai bek kiri namun dapat juga didorong lebih kedepan sebagai wingback atau left midfielder. Transfer yang sangat bagus, mengingat Kolasinac adalah pemain yang dihargai tinggi di Bundesliga musim lalu. Sangat kuat dan berani bertarung, Kolasinac dapat jadi solusi untuk menjadi benteng Arsenal di lini sayap. Kolasinac akan bersaing dengan Nacho Monreal, yang diluar dari penampilannya yang terkesan kurang bertenaga, bermain sangat stabil dan bisa diandalkan sepanjang musim lalu. Monreal menyingkirkan Kieran Gibbs, yang sempat bermain cemerlang di beberapa musim sebelumnya, sebagai bek kiri utama musim lalu. Untuk Gibbs, mungkin sudah waktunya mencari pelabuhan lain.

Di posisi bek kanan, Hector Bellerin terus dihubung-hubungkan dengan klub masa kecilnya, Barcelona. Mengingat Barcelona bermain tanpa bek kanan murni sepanjang musim lalu (posisi ini bergantian diisi Sergi Roberto, Aleix Vidal, dan Gerard Pique) pastinya Bellerin adalah pilihan yang paling baik dan mungkin. Harga sepertinya tidak akan jadi masalah bagi Barcelona. Andaikata Bellerin jadi pergi bek kanan yang tersisa adalah Mathieu Debuchy dan Carl Jenkinson. Buruk. Debuchy sudah setengah hati di Arsenal karena tidak mampu bangkit setelah cedera panjang, dan Jenkinson tidak sesuai harapan. Apabila Bellerin tidak jadi pergi, Arsenal masih beruntung karena ada pelapis sekelas Calum Chambers yang akan kembali dari masa pinjaman. Tapi apabila Bellerin pergi, Arsenal harus mencari bek kanan utama yang baru.

Kesimpulan:

Nacho Monreal – Keep

Sead Kolasinac – baru bergabung

Kieran Gibbs – Sell

Hector Bellerin – Keep

Mathieu Debuchy – Sell

Carl Jenkinson – Sell

To buy (only if Bellerin leaves):

Matteo Darmian, Serge Aurier, Nathaniel Clyne

 

Gelandang Bertahan

Ini krusial. Arsenal wajib mencari gelandang bertahan yang baru. Komposisi saat ini tidak menunjukkan kualitas yang diharapkan. Di era modern football saat ini, gelandang bertahan yang kokoh, mampu berjuang merebut bola, melakukan tackle, dan menjaga jarak antara pertahanan dan penyerangan adalah kunci permainan. Apalagi kalau bisa mencari celah untuk memberi umpan atau menggiring bola ke depan, wuih lengkaplah sudah. Pada saat ini, N’golo Kante adalah pemain terlengkap di posisi ini. Makin membuktikan bahwa gelandang bertahan haruslah pemain tinggi besar berbodi kokoh. Lihat saja Andrea Pirlo, Gennaro Gattuso, maupun Claude Makelele (sang pencipta ‘Makelele Position’) yang utama adalah daya juang dan penempatan posisi yang handal untuk memotong bola. Sepeninggal Patrick Vieira dan Gilberto Silva, Arsenal sempat punya harapan pada diri Alex Song. Sayangnya Song terbuai nama besar Barcelona dan pergi kesana dengan jumawa hanya untuk mendapati dirinya dihempaskan langsung ke bangku cadangan. Padahal saat itu masa keemasannya. Mikel Arteta sempat menjadi pilihan kemudian, namun yang bersangkutan terlalu stylish.

Di posisi ini sekarang Arsenal memiliki Francis Coquelin, Mohamed Elneny dan Granit Xhaka. Coquelin yang hanya jadi half season wonder di musim 2015/2016 tidak melanjutkan kehebatannya musim lalu dan memang sudah seharusnya dibuang sejak lama. Elneny cukup baik, tapi masih perlu waktu dan sepertinya masih perlu belajar sebagai anchor man murni. Xhaka adalah harapan, dia skillful, tangguh dan mampu melepas umpan dan tembakan keras. Sayangnya posisi sebagai gelandang bertahan kurang pas karena daya jelajah dan kecepatannya minim. Perlu partner yang tepat di tengah lapangan, yang pastinya bukan Aaron Ramsey.

Kesimpulan:

Francis Coquelin – Sell

Mohamed Elneny – Keep

Granit Xhaka – Keep

To buy:

Maxime Gonalons, Asier Illarramendi, Tiemoue Bakayoko, Idrissa Gueye, Oriol Romeu

 

Gelandang Sayap

Tidak ada pemain yang berposisi gelandang sayap murni di skuad Arsenal musim 2016/2017, karena formasi awal 4-3-3 dan formasi lanjutan 3-6-1 tidak membutuhkan posisi ini. Saya mengingat kembali betapa hebatnya Arsenal di 2003/2004 dengan formasi pakem 4-4-2 sejajar, menggunakan gelandang sayap handal seperti Robert Pires, Fredrik Ljungberg dan Ray Parlour. Formasi ini sudah jarang dipakai oleh Arsenal beberapa tahun belakangan, karena trend ujung tombak tunggal. Tapi ya mungkin bisa juga dicoba, toh Leicester City memenangkan Liga Premier musim lalu dengan formasi ini. Tentunya dengan pertimbangan kemenangan itu karena adanya efek Kante yang dominan di tengah, sehingga Riyad Mahrez dan Jamie Vardy leluasa mengacak-acak kotak penalti lawan. Hmm, penentuan formasi ini masih tergantung komposisi pemain, tapi tidak ada salahnya membeli satu-dua pemain sayap untuk variasi. Di skuad saat ini, hanya Alex Oxlade Chamberlain yang dapat bermain baik di posisi side midfielder, walaupun itu bukan posisi alaminya.

To buy:

Riyad Mahrez, Saul Niguez

 

Gelandang Serang

Arsenal punya salah satu gelandang pengumpan terbaik di dunia dalam diri Mesut Ozil. Tapi sepanjang musim lalu penempatan posisinya aneh. Pada formasi 4-3-3, Ozil seringkali berada di depan, diposisikan agak ke sayap. Sementara lini tengah diisi Coquelin, Santi Cazorla dan Aaron Ramsey, yang notabene bukan playmaker murni. Pada formasi lanjutan 3-6-1, posisi Ozil lebih baik karena diposisikan di tengah, tapi dia tidak sendiri melainkan bersama Alexis sebagai gelandang serang. Kreativitasnya berkurang, akhirnya umpan-umpan cantik kepada lini depan jauh menurun. Apabila Ozil bertahan musim ini, sangat baik apa bila Arsenal kembali pada formasi 4-2-1-3 atau 3-5-2 dimana Ozil berdiri bebas sendirian di belakang striker, sebagai kreator semasa di Real Madrid yang lama tidak kita lihat. Aaron Ramsey sepanjang musim bermain angin-anginan. Penempatan posisinya pun nanggung dan tak biasa, yaitu sebagai attacking midfielder maupun winger. Dia tidak lagi jadi pencetak gol-gol penting seperti musim sebelumnya, dengan posisi alaminya sebagai box-to-box midfielder. Penampilannya juga dapat dibilang menurun. Dengan akan kembalinya Jack Wilshere, posisi Ramsey mungkin akan goyah. Apabila ada klub yang tertarik, menjual Ramsey mungkin keputusan terbaik bagi masing-masing pihak. Hal ini juga akan memberikan satu posisi lowong untuk diisi Alex Oxlade Chamberlain, yang sudah terlalu lama menunggu untuk dimainkan di tengah.

Kesimpulan:

Mesut Ozil – Keep

Santi Cazorla – Out of contract

Aaron Ramsey – Sell

Alex Oxlade Chamberlain – Keep

To buy:

Josep Illicic, Gylfi Sigurdsson, Ryad Boudebouz, Manuel Lanzini

 

Penyerang

Jika fans mengingat masa-masa jaya dahulu, Arsenal selalu identik dengan permainan cepat, dengan dribbling lincah dan passing cantik penuh presisi, serta penyelesaian akhir nan gemilang oleh para striker yang aktif bergerak. Hal ini yang tidak terlihat di musim lalu. Lini depan dengan format tiga penyerang (dua winger, satu striker) sepertinya tidak pernah cocok dengan Arsenal. Arsenal butuh lebih dari satu striker untuk menjalankan passing satu-dua yang jadi trademark permainannya. Oleh karena itulah dahulu ada duet Dennis Bergkamp-Ian Wright, Bergkamp-Nwankwo Kanu, Kanu-Nicolas Anelka, sampai yang paling jaya Bergkamp-Thierry Henry. Duet terakhir yang juga hebat mungkin Robin van Persie-Thierry Henry walau tidak memenangkan gelar. Dua striker selalu menjadikan Arsenal punya pilihan, dengan satu orang sebagai penahan bola dan satunya berlari membuka ruang, dan sebaliknya. Kalaupun menggunakan satu striker, pastilah bukan target man murni. Henry pernah menjalani posisi ini, begitu juga dengan Kanu, Anelka, dan van Persie. Semuanya adalah striker lincah dengan daya jelajah yang luas.

Hal ini bertentangan di musim lalu, dimana pada posisi striker murni Arsenal punya Olivier Giroud dan Danny Welbeck. Khusus Giroud, entah setan mana yang membuat pemain yang sangat andal menjadi pilihan utama di timnas Prancis, seperti tersisihkan di Arsenal. Padahal Giroud selalu membuktikan dirinya mampu membuat gol setiap kali diberi kesempatan tampil, walau seringkali membuang peluang emas di momen-momen penting. Hal ini mungkin yang membuatnya mulai jarang diberi waktu bermain. Atau mungkin soal cara bermainnya yang sangat tipikal target man, dimana dia selalu berada di depan gawang lawan menunggu umpan untuk disepak atau ditanduk. Welbeck terlalu lama cedera musim lalu, membuat permainannya tidak berkembang. Mengingat umurnya tidak lagi pada kategori ‘pemain muda potensial’, Welbeck harus dapat membuktikan dirinya pantas bermain dan lepas dari bayang-bayang cedera. Giroud dan Welbeck dapat saja pergi, bila Arsenal mendapatkan striker lincah dan cepat seperti dulu. Perlu disayangkan sebenarnya, karena mereka berdua masih di puncak permainannya.

Lucas Perez tidak sesuai harapan dan sangat mungkin pergi. Permainannya tidak berkembang di Inggris, selain posisi dan cara mainnya yang mirip dengan Alexis membuatnya sulit membuktikan diri. Theo Walcott bukan lagi remaja pemilik lari kancil yang mengagumkan dunia dengan masuk tim inti Arsenal di umur 16 tahun. Dia tetap cepat, tapi ketajamannya tak juga terasah. Ketika ini berarti jam terbang yang semakin berkurang, sepertinya Walcott juga akan memilih untuk pergi. Alex Iwobi adalah salah satu pemain muda terbaik Liga Premier musim lalu. Penuh percaya diri, mampu memainkan passing pendek maupun mendribble bola sendiri ke depan. Potensinya masih sangat besar dan masih sangat layak dipertahankan.

Alexis Sanchez, pemain terbaik Arsenal musim lalu bukanlah seorang striker murni. Dia aslinya seorang winger yang bermain menusuk ke kotak penalty. Beberapa kali di musim lalu, Alexis dipasang sebagai striker tunggal. Gagal total. Dia terlalu asik berputar-putar menggiring bola di sekitar kotak penalty daripada melaju paling depan memimpin penyerangan. Banyak gol Alexis dicetak dari upaya individu dan bukan kejelian passing ataupun kerjasama tim. Ini harus berubah. Apabila Alexis bertahan dari kejaran Manchester City maupun Bayern Munchen, ia tetap salah satu aset terbaik tim. Arsenal cukup melengkapi diri dengan seorang pencetak gol lincah untuk menemani Alexis berbagi umpan di depan gawang.

Kesimpulan:

Olivier Giroud – Sell

Danny Welbeck – Keep

Theo Walcott – Sell

Lucas Perez – Sell

Alex Iwobi – Keep

Alexis Sanchez – Keep

To buy:

Kylian Mbappe, Alexandre Lacazette, Andrea Belotti

 

Ya… kalaupun musim depan Arsenal tidak mendapatkan pemain baru sesuai yang diharapkan, dengan komposisi saat ini paling tidak inilah starting line up terbaik menurut saya (dengan formasi 4-2-3-1):

Cech – Bellerin – Koscielny – Mustafi – Kolasinac – Ramsey/Wilshere – Xhaka – Oxlade Chamberlain – Ozil – Sanchez – Welbeck

Well… Akhir kata… Semoga sukses Arsenal!  *ttd:FansYangMasihCinta*

Happy Birthday!

Hari ini umur saya 29 tahun. Di hari ini saya kembali menyadari betapa hidup ini penuh kejutan, kalau tidak bisa disebut penuh misteri. Tapi itulah seninya.
Saya akhirnya membuktikan betapa indahnya dibangunkan pelukan dan ciuman istri pada dini hari di hari ulang tahun. Buket bunga, brownies, kata-kata mesra dan ucapan doa melelehkan embun di ujung mata. Haru bahagia. Tak terkatakan saat menatap senyumnya. Ini bukan lagi mimpi, dan ini bukan lagi sekadar cerita.
Tahun 2007, saya hanya bisa menggambarkan rasa ini dalam cerita. Kumpulan cerita pendek yang tertumpuk tak terurus di blog ini. Tertinggal, tapi bukannya terlupakan. Cerita itu, hari ini, jadi kenyataan.
Saya juga membuktikan betapa takdir memang datang tanpa bisa diduga. Tahun lalu saya dipertemukan dengan seseorang. Dia memekarkan bunga di hati saya yang terkurung lama, entah saya sadar sengaja ataukah tidak. Dia membangunkan rasa ingin memiliki. Dia menghangatkan ruang dada. Yang terpenting, dia membuat saya tersenyum.
Tahun 2010, saya terlalu capek diluapi asmara. Saya capek mengejar titik-titik tujuan yang jauh di balik garis pandangan. Alamak pun, semakin dikejar semakin jauh.
Seorang sahabat menyarankan saya menonton How I Met Your Mother, dengan menyebut, “situasi tokoh utamanya mirip banget elu, rom.” Satu episode membuka mata saya, merasa sehati pada saat dimana sang tokoh utama mendapat petuah indah, ‘Jika kamu lelah, ingatlah bahwa pasangan hidupmu tidak diam, dia juga sedang dalam perjalanan untuk bertemu denganmu. Dan dia sedang berusaha bertemu kamu, secepat yang dia bisa.’
Dan secepat itulah dia hadir dan merebut tempat di sisi ruang hidup saya yang tadinya kosong. Tanpa aba-aba, tanpa kira-kira, tanpa praduga. Hingga sekarang kukuh bersimpuh disana. Menemani hati dan raga. Dengan riang senyumnya. Dengan genit kerlingnya. Dengan caranya yang memesona.
Semua lancar hampir tanpa kendala. Saya meminangnya dengan yakin, dia adalah satu-satunya.
Satu hal yang waktu ajarkan buat saya, sesuatu yang indah tidak selalu datang di saat kita butuh. Sesuatu yang indah datang di saat kita pasrah dan rela. Takdir berpulang kepada niat baik. Perjalanan hari mungkin membuat kita lupa, tapi selama niat baik kita teguh, takdir tidak bisa lupa.

buat Prawita.
untuk setahun ini, dan tahun-tahun bersamamu..
selamanya, sayang saya.

Media, Berita, Fakta

Akhir Februari. Malam.

Serempak kami terbahak lagi. Sungguh lelucon berkelas yang mereka tayangkan ini. Geli betul. Sayangnya bukan tawa bahagia yang kami lepaskan. Karena tanpa terasa, semakin lama kami menyaksikan acara ini, dengan semakin deras tawa kami, semakin dalam hati terlukai.

Saya terdiam menyaksikan, sambil sesekali menggelengkan kepala heran dan tersenyum miris. Malam ini membuat saya menyadari. Ternyata saya masih punya harga diri. Dan ketika menyaksikan harga diri kita diludahi oleh orang tak tahu apa dengan komentar mereka yang tak tahu kemana arah, rasanya sakit. Sakit banget.

Ini cerita soal kebanggaan institusi. Oya, buat yang belum tahu, saya adalah seorang pegawai pajak. Nah. Tahu kan kemana arah cerita saya? Ya. Saya merasa perlu membuat tulisan ini. Sekadar ingin memberi pemahaman dari sisi berbeda, dari yang ramai ditampakkan media. Tak ada niat membela diri, hanya sebuah cerita apa adanya. Tentang saya, tentang kami.

Pertama kali dengar agak lucu buat saya, karena kasus apalah ini namanya (serta merta disebut media massa sebagai Gayus II) meletup pas sekali waktunya ketika publik sedang asyiknya menonton tante Angie yang tetap cantik aja duduk pesakitan di ruang sidang. Halah. Basi. Besok pasti orang lupa deh dengan kasus yang sedang menggoyang partai politik berkuasa ini. Persis kasus Gayus (I) yang muncul tepat ketika Bank Century lagi top-topnya. Sekarang boro-boro jelas akhirnya gimana.

Tapi ya, mau ngga mau cemas juga. Wah pasti rame lagi nih. Baru saja habis masa 2 tahun saya kemana-mana dipanggil ‘gayus’, eh ada lagi. Apalagi pastinya 2 stasiun tivi beraliran politik taktis itu akan maju duluan. Wuih. Bener kan, 2 hari sejak kasusnya pertama kali muncul di tv, mereka sudah punya data lengkap si tersangka. Rumahnya, hartanya, usaha-usaha miliknya, curriculum vitae, segala macam. Ngalahin intel dah pokoknya. Perasaan cuma tersangka dari DJP aja deh yang diperlakukan ‘istimewa’ begini. Ingat nggak dulu waktu Gayus Tambunan ramai di tv, segala sampai rumah jaman kecilnya, kampusnya, semua diceritain di tv. Tersangka korupsi dari institusi lain ngga pernah deh dibeberin segitu detilnya. Hemm..

Malam ini di kantor, kami bareng-bareng nonton tv merah yang menampilkan wawancara/diskusi/talkshow (apalah itu sebutannya) dengan (yang mengaku atau diaku-akui sebagai) pakar bidang perpajakan. Hwek. Sepertinya kami yang nonton berbagi perasaan yang sama. Antara geli, heran, kesel, gondok, marah campur aduk. Ini pakar nemu dari mana ya komentarnya jelek semua. Satu arah banget. Mana pula pembawa acara bukannya mengarahkan acara kepada fakta, malah memberi pertanyaan yang provokatif dan memancing. Beberapa kali membuat kesimpulan sendiri. Duh-duh. Tambah runyam.

Contoh, istilah “orang pajak nilep uang pajak” terus-terusan disebutkan si presenter seakan-akan memang hal itu memungkinkan. Coba ya, ‘nilep’ itu kan deskripsi kasarnya gini : ada duit pajak nih di meja, orang pajak lewat, lihat duit, tengok kiri-kanan ngga ada siapa-siapa terus deh diambil dimasukin kantong. Nah sekarang, gimana caranya orang pajak bisa nilep duit pajak kalo duitnya aja ga keliatan? Kantor pajak itu ngga nerima pembayaran yah, catet. Orang bayar pajak ke kantor pos atau bank persepsi. Jadi kalo duitnya aja ga ada sama kita, gimana caranya kita nilep? Cek gih. Di kantor pajak, adanya cuma kertas sama berkas.

Eh tapi yah, saya pernah berdebat dengan seorang keras kepala tentang bagaimana Gayus itu tidak nyuri uang pajak, tapi dia ‘bermain’ dengan wajib pajak nakal supaya jumlah pajak yang dibayar berkurang. Istilah ‘nyuri uang pajak’ itu tidak mungkin menurut saya, karena ketika uang itu belum diterima bank sebagai pajak, maka status uang itu bukan uang pajak tapi cuma uangnya si wajib pajak. Mungkin merasa kehabisan bahan debat, orang tersebut dengan ga mau kalahnya berujar, “tapi kan bisa saja uang pajak yang sudah masuk ke bank ditarik lagi untuk dimakan sama orang pajak!” Tolol banget, pikir saya. Kalo bisa narik dana orang dari rekening bank, sekalian aja pikir saya ini superman. Udah nabrak tembok gitu pikiran orang ga bisa dibenerin, ya udah lah saya cuekin.

Balik ke acara yang sedang kami tonton. Ada lagi nih. Si bapak pakar yang ngakunya dari perkumpulan pembayar pajak, bisa-bisanya nyebutin pajak restoran, pajak pengusaha warteg, pajak parkir, di wacana yang membahas kasus DJP. Nih ya, catet. DJP cuma ngurusin PPh, PPN, PBB dan bea meterai. Kelompok pajak pusat namanya. Pajak restoran 10% yang kalian bayar kalo makan di restoran itu namanya pajak daerah, yang ngurusin Pemda. Begitu juga dengan pajak hiburan, pajak warteg, pajak parkiran. Ini jelas-jelas mengindikasikan kalo pembayar pajak, pada dasarnya ngga tau apa yang dia bayar. Ngga mau repot, taunya tinggal bayar aja. Eh giliran ada kasus, main tunjuk deh nuduh : ‘namanya pajak, ya urusannya kantor pajak’, begitu pikiran kerdil mereka berkata. Padahal, kalau anda merasa bayar pajak dan merasa tidak mendapat keuntungan dari membayar pajak, anda berhak menuntut. Tapi mau menuntut bagaimana kalau anda sendiri tidak tahu apa yang anda bayar?

Sesi interaktif. Seorang penelpon dari suatu daerah bercerita bahwa potensi pajak di daerahnya sangat bagus. Semua orang sudah bayar pajak. Karyawan-karyawan gajinya semua sudah dipotong pajak. Apa-apa bayar pajak. Lantas dia bertanya kenapa infrastruktur daerahnya belum ada perbaikan. Dia pun menyimpulkan kalau ini pasti karena uang pajak dicatut sama orang pajak. Si pembawa acara manggut-manggut seperti mengiyakan. Hweh. Saya garuk-garuk tanah. Heh! Emangnya yang bikin jalan, bikin jembatan, bangun sekolah itu kantor pajak?! Coba baca lagi, cari tau lagi. Berapa dana yang dialokasikan dari pajak untuk pembangunan, instansi mana yang punya tugas membangun infrastruktur daerah, berapa dana yang dianggarkan untuk pembangunan, berapa yang terserap, apa saja hasilnya? Nah. Semestinya kalo udah punya fakta, baru boleh ngomong.

Saya membuat analisa.

Dari ribuan kasus korupsi yang terjadi di Indonesia, baru kasus di DJP dimana nama tersangka ter-cap ke jidat semua orang di institusi ini. Saya belum pernah dengar cerita seorang pegawai bank mengenalkan diri “saya kerja di bank kota” dijawab “woh malinda dee apa kabar mbak?”, sementara yang terjadi kepada saya ketika disapa seorang bapak yang duduk di sebelah saya di pesawat : “di ende kerja dimana mas?” | “kerja di kantor pajak, pak.” | “ooh, kantornya gayus ya..”. Cukup tiga kalimat dan saya pun menjadi gayus.

Begitu juga soal pemberitaan media yang ‘terlalu detil’ ketika seorang tersangka korupsi adalah pegawai kantor pajak. Baca perbandingan di paragraf sebelumnya tulisan ini.

Berita tentang kantor pajak selalu jadi ulasan panjang dengan cerita menjalar kemana-mana, apalagi kalau sudah diberi headline catchy yang berkonteks negatif. Kalo headline-nya suportif contohnya tentang beban anggaran negara yang 70%-lebihnya harus dikumpulkan oleh satu instansi (DJP), orang biasanya males baca. “Ya itu emang udah tugasnya.”, paling begitu komentar orang. Oh iya catet lagi buat yang mungkin masih terjebak di masa lalu, penerimaan negara kita sekarang bukan didominasi minyak dan gas bumi lagi lho. Minyak bumi telah menjadi minyak jelantah.

Kesimpulan analisa saya ternyata humanis sekali : ‘Ga ada orang di dunia ini yang suka bayar pajak’. Secara prinsip emang gitu, siapa sih yang suka disuruh bayar tapi ga jelas manfaat buat dirinya? Barang ga dapet, jasa ga keliatan, buat apa saya bayar pajak? Kan gitu. Kalo terus ternyata ketidaksukaan menbayar pajak merembet kepada ketidaksukaan terhadap pegawai pajak, masih wajar. Silakan. Toh kami ya memang bisa omong doang, “iya pak, pajak yang bapak bayar akan digunakan untuk membangun sekolah, jalan, jembatan, gaji PNS, subsidi listrik, subsidi BBM, dll” sampe berbusa padahal mah kami sendiri juga ga janji bakalan terwujud, lah pan kami tugasnya cuma ngajak orang bayar pajak, sementara yang ngatur duitnya mau dipake apa ya… kantor sebelah.

Yang tidak wajar adalah menempatkan nama baik, harga diri, usaha dan kerja keras seluruh instansi sama rendahnya dengan seorang kriminal yang ditemukan di dalam instansi tersebut. Hanya demi rating tinggi dan bisnis bagus. Apalagi bila (mungkin) hal ini kemudian menjadi alat politik antar-para pemegang kepentingan.

Kejahatan tetap kejahatan. Kesalahan pasti ada hukuman. Tapi ya harus dibuktikan. Katanya negara hukum. Kalo terbukti bersalah baru deh dilaknat sama-sama. Dikelitikin sampe turun berok boleh juga tuh. Hukum ya harus tegak dulu kecuali kalo penegak hukumnya ga bisa menegakkan hukum ya mereka yang harus dihukum duluan. Ngga pantas juga main samaratakan, seakan di satu keluarga kalo bapaknya maling anak-anaknya ya maling semua.

Fakta. Itu dia kuncinya. Ketika berita yang didengar tidak selalu benar, masyarakat yang pintar harus selalu mencari tahu sebelum berkomentar. Orang boleh komentar, berpendapat sesuka hati dan pemikirannya. Tapi fakta cuma ada satu. Ketika kita digiring menjauh dari fakta, lalu tanpa usaha mencari tahu kita tergiring begitu saja, itu sapi namanya. Atau ibaratnya kita naik taksi tanpa tahu jalan, dibawa muter-muter sama supir taksi, walaupun akhirnya sampai juga, itu mahal bayarnya. Itulah kenapa media berkuasa, karena massa mengikutinya. Seakan harus, mesti, kudu padahal seringkali, mau dibawa kemana juga kita tidak tahu.

* saya baru tau satu hari setelah memposting tulisan ini kalo ternyata sodara DW yang ngetop itu ternyata sudah bukan lagi pegawai DJP tapi sudah jadi pegawai Pemda DKI. Lalu kenapa headline pemberitaan masih menunjuk kepada kantor pajak dan DJP? tanya sendiri dah sono.

Ceritanya si Ende

Januari.

Akhir tahun 2011 ini, rumah kontrakan kami habis masanya. Hweh. Pasti naik lagi harga sewanya. Sambil termanyun lesu, tiga makhluk penghuni rumah kontrakan bergantian menyambangi ATM. Jumlah rupiah berdigit 8 pun tertarik dari tabungan. Mau gimana lagi, kalo dihitung-hitung biaya mengontrak rumah masih jauh lebih murah daripada harus kos. Walaupun ada tambahan bulanan bayar rekening listrik dan air yang bayarnya digilir tiap orang, masih lebih murah juga. Ya rekening listrik dan air kami di rumah kan ngga seberapa, secara hidup ini lebih banyak dihabiskan di kantor. Hahaha.

Tapi hari itu bukan soal uang yang menggelitik pikiran saya. Ketika kami menyerahkan amplop, ‘ibu kontrak’ (hahaha, istilahnya kok ga enak ya?) tersenyum sambil ngomong, “Alhamdulilah, mudah-mudahan makin betah ya mas..” Bener juga. Ini kali ke-4 kami bayar kontrakan. Artinya tiga tahun lewat sejak kami tinggal di Ende dan tinggal di rumah ini. Dalam diam kami tersenyum miris. Yah, puji Tuhan, rejeki kami ternyata masih dikasih disini. Tapi yaa kalo boleh minta, rejekinya yang disini biar cepet dipindahin ke tempat lain juga boleh sih. Hehehe.

Nah.

Posting kali ini saya dedikasikan buat Ende, buat 3 tahun yang saya lewati, dan buat masa.. entah berapa lama lagi, mudah-mudahan sih ga lama lagi.. yang saya akan hadapi di kota mungmep (mungil-mepet) ini.

Pertama.

Kesan pertama begitu menggoda. Saya ingat pertama kali melihat kota ini, saat pesawat saya menuju Maumere transit disini sekitar lebaran 2008. Wah, IJO!, pandang saya takjub. Secara iklim Ende memang terlihat lebih sejuk dan hijau dibandingkan Maumere yang beriklim pantai. Saya berfoto dengan latar gunung aneh berpuncak datar yang seperti habis dipapas tukang cukur amatiran (belum ada pikiran kalo Gunung Meja ini akan jadi pemandangan bangun tidur saya setiap pagi 3 tahun berikutnya).

Nggak tahunya, panasnya Ende mah sebelas-duabelas sama Maumere. 2 kota ini cirinya sama, di musim kemarau siangnya terik dan malamnya dingin menggigil, sementara di musim hujan siangnya panas lembab dan malamnya gerah. Musim hujan air bersih malah langka karena perusahaan air minum sering menyetop aliran akibat sumber air yang keruh diguyur lumpur gunung bawaan hujan.

Satu hal yang membedakan Maumere dan Ende mungkin dari bentang alamnya dimana Maumere cenderung datar dan luas sepanjang alur pantai, sementara Ende cuma nyempil seuprit di tepi pantai selatan Flores, dan di utara, barat, timur, dikelilingi perbukitan semua. Itulah mengapa Ende saya sebut mungil-mepet (udah mungil, sana mepet gunung sini mepet laut, hahaha) jadilah kalo mau keluar kota, berkendara 10 menit saja kita sudah disuguhi pemandangan jalan membelah bukit atau jalur pinggir pantai yang subhanalah ciamiknya. Perbedaan demografi ini juga mungkin yang membuat harga properti di Ende relatif lebih tinggi dari Maumere, soalnya tanah di Ende lebih sempit. Perbandingan gampangnya ya balik lagi ke soal sewa kontrakan tadi, hehehe.

Kedua.

Saya mengunjungi Danau Tiga Warna di puncak Kelimutu sekitar akhir 2008, ketika itu kantor sudah terpecah tiga, dan saya telah definitif akan menempati kantor baru di Ende setelah hampir setengah tahun tinggal di Maumere. Saya dan beberapa teman mengadakan farewell trip dari Maumere yang sekaligus menjadi welcome trip buat yang ditempatkan ke Ende. Rekor terpecahkan setelah saya ‘jackpot’ sampai 6 kali sepanjang perjalanan pertama saya dari Maumere ke Ende itu. Parah beut parah. Dikata saya yang jaman itu naik metromini aja masih sering mual, sekarang langsung dihadapkan dengan jalan berliku mengular tak habis-habis kiri-kanan-naik-turun, membelah gunung dan menyusur lembah selama 4 jam. Menginap di Moni, kampung di kaki Kelimutu, malam itu saya ‘ambles’ dikeroki sekujur badan.

Moni berjarak satu jam perjalanan berkendara dari kota Ende, dan puncak Kelimutu bisa dicapai setengah jam lagi. Danau-danau di Kelimutu, menurut cerita adalah tempat bersemayamnya arwah-arwah manusia setelah meninggal. Tiap roh akan masuk ke danau yang berbeda sesuai bagaimana sifat mereka di waktu hidup.

Sampai hari ini, Kelimutu masih menjadi tempat yang ‘majestic’ buat saya. Dari tugu pengamatan di puncak dimana kita bisa melihat 3 danau/kawah warna-warni dikala cuaca cerah, kita juga bisa memandang jaaaauuuhh, ke arah lapis demi lapis bukit yang berujung laut jauh disana. Benar-benar puncak dunia. Sisi bawah sadar akan meminta saya duduk berlama-lama, memandang ke entah apa, keluasan yang tak habisnya.

Warna danau telah tiga kali berubah sejak saya pertama kali datang : hitam-merah-hijau, lalu hitam-hijau-hijau dan terakhir hitam-putih-hijau. Danau-danau vulkanik ini selalu berubah warna tanpa bisa diprediksi kapan dan kenapa. Sementara penelitian belum bisa menyimpulkan, saya lebih suka memandangnya sebagai misteri alam indah yang memberi pandang puncak kenikmatan.

Ketiga.

Soekarno, presiden pertama republik kita yang flamboyan itu pernah diasingkan oleh Belanda (kata ‘diasingkan’ buat saya masih mengusik telinga sih, ya walau jaman sudah berubah, hehe. Tapi masih mending dibanding ‘dibuang’) ke Ende pada 1934-1938. Ayo coba dibuka lagi buku pelajaran sejarahnya, anak-anak!

Disini juga katanya, Pak Karno mulai mengonsep Pancasila yang kemudian jadi dasar negara. Ceritanya si Bapak yang lagi jalan-jalan di pinggir pantai melihat pohon sukun rimbun bercabang lima, jadilah doi suka berteduh dan duduk-duduk di bawah pohon itu sambil merenungi banyak hal. Beliau juga memperhatikan betapa masyarakat Ende yang heterogen dapat bercampur-baur dan hidup damai serta harmonis. Ende adalah kota dengan persentase penduduk muslim terbesar di Flores. Sejak jaman dulu pendatang muslim suku Bugis-Makasar, serta Arab telah datang ke Ende dan tinggal berdampingan dengan penduduk asli Flores yang Katolik. Maka tak heran jika saat ini banyak ditemukan pernikahan beda agama di Ende, namun kehidupan masyarakat yang harmonis tetap terjaga.

Di bawah pohon sukun itulah Pak Karno mengonsep Pancasila yang keren itu. Pemikiran akan sebuah negara yang bersatu diatas semua perbedaan terus beliau bawa sampai menjadi pemimpin tertinggi bangsa. Pohon sukun bercabang lima masih segar bugar dan rimbun sampai sekarang. Lokasi sekitar pohon sukun di tepi pantai Ende dijadikan Taman Renungan Bung Karno lengkap dengan patung sang pemimpin. Di area yang sama terdapat Museum Tenun Ikat, lapangan olahraga dan taman bermain yang sayangnya, tampak tak terurus baik. Sayang.

Tidak terlalu jauh dari taman, terdapat Rumah Pengasingan Bung Karno. Setelah tiga tahun, akhirnya minggu lalu kesampaian saya melihat masuk ke dalam padahal lokasinya berada di lingkungan perumahan yang biasa saya lewati kapan saja. Mungkin sehabis akhirnya masuk rumah Bung Karno ini, saya pindah. Hlah. Tetep dah.

Dari luar rumah ini biasa saja, sebuah rumah tua jaman Belanda yang mungil tapi adem dengan halaman yang sederhana pula. Sekarang sih posisinya sudah dempet kanan-kiri-belakang dengan rumah penduduk lain, tapi bagaimana ya kondisinya di jaman Pak Karno tinggal dulu? Pertanyaan saya terjawab ketika akhirnya minggu lalu bareng temen-temen dari Maumere yang main kesini, saya bisa masuk dan lihat-lihat ke dalam rumah sejarah yang selama tiga tahun saya tinggal di Ende, mau masuk juru kuncinya susah banget ditemuin. Hahaha.

Cukup banyak foto-foto jadul dan memorabilia Bung Karno tersimpan di dalam rumah, membuat kita bisa membayangkan situasi jaman itu. Sejumlah tongkat milik beliau, peralatan rumah tangganya, meja kursi serta tempat tidur kuno juga ada disana. Seorang teman berkomentar, “Wuih, banyak bisanya ya Pak Karno ini..” ketika ditunjukkan lukisan besar bergambar upacara persembahyangan ala Bali yang ternyata dilukis sendiri oleh beliau. Serius ini lukisan keren bener. Maunya sih kalo boleh saya bawa pulang.. *dijitak* Sumur di belakang rumah dipromosikan dengan, “Ayo silakan cuci muka pakai air yang sama seperti Bung Karno supaya jadi presiden.” Hahaha, aya aya wae pak juru kunci ini, saya doain bapak jadi presiden ya pak.

Hmmm.. Ende. Dari kesan pertama yang asik, Kelimutu yang majestic, sampai Rumah Bung Karno yang historic. Sini yuk mampir, mencicipi tiga tahun cerita hidup saya di Nusa Bunga? :))

*) penerbangan menuju Ende dari Kupang atau Denpasar dengan WingsAir, Transnusa, atau Merpati. perkiraan ongkos pesawat Jakarta-Ende PP 3 juta rupiah. mahal ye. Emang!

Mudik Susah 2011 (part 3)

Kamis, 25 Agustus 2011, pagi.

Hari ini bukan pertama kalinya saya naik ferry, tapi membayangkan harus terombang-ambing diatas kapal, siang hari bolong pula, mau gak mau bikin nyali ciut. Apalagi lamanya bukan cuma 2 jam seperti ferry Banyuwangi-Gilimanuk, bukan juga cuma 4 jam seperti Padang Bai-Lembar, tapi ini 8 jam! Puas-puasin dah tuh dengan tiket seharga 40 ribu rupiah bisa menghabiskan sepertiga hari dan seluas mata memandang hanya akan ada…air laut. Kapal ferry ini juga kayaknya shock-breakernya gak pernah diganti, belum juga mesin nyala, goyangannya sudah terasa. Nenggak antimo dulu deh ya biar aman, tujuh toples.

Kapal bertingkat 3 angkat sauh dari pelabuhan Labuan Bajo jam delapan pagi lebih sedikit. Cuaca masih oke, matahari belum tinggi dan walaupun gak kebagian duduk di ruang penumpang yang ber-AC, kami masih bisa selonjoran di dek paling atas dimana masih ada bagian yang terhalangi dari sinar matahari. Tambah asik, angin laut bertiup sepoi. Ditemani beberapa ekor lumba-lumba yang meloncat-loncat di sisi kapal (dan sayangnya tidak sempat saya lihat), kami memulai perjalanan dengan ceria. Mungkin perjalanan laut kami hari ini tidak seburuk yang dibayangkan.

Eh tapi tunggu dulu!

Seiring matahari yang merangkak naik, ketika hari menjelang siang kami juga dibuat panas oleh sebuah berita buruk. Buruk, busuk, dan super-mengesalkan. Penerbangan TransNusa Ende-Denpasar untuk tanggal 26 Agustus yang sehari sebelumnya dinyatakan di-cancel, yang membuat kami harus berjibaku mengejar waktu semalaman tadi dan 2 hari selanjutnya, diberitakan DIBUKA KEMBALI dan SIAP TERBANG. Br*ngs*k. Maskapai macam apa ini. Kekonyolan seperti ini harusnya memecahkan rekor sebagai lelucon paling tidak lucu sedunia. Sayangnya karena diatas kapal kita dilarang menghelat ritual santet, jadi untuk mengurangi rasa kecewa dan marah (atau perasaan apalah itu namanya, macam ‘kombo perasaan tidak enak’ gitu) saya memilih membaringkan badan dan tidur. Pun kami sudah sampai disini, jadi mau bilang apa.

Semakin siang semakin sulit mencari tempat yang tidak terpapar sinar matahari. Panas membakar. Saya beringsut mencari pojok-pojok tersisa di lantai 2, cukup selebar pantat supaya bisa duduk dan melanjutkan tidur. Kapal ini penuh betul sih tidak, tapi saya pastinya ogah membayangkan kapal ini dalam keadaan lebih penuh dari saat ini. Kursi yang disediakan cuma sedikit, tidak sebanding dengan jumlah penumpang yang diangkut. Jadilah penumpang berserakan tak keruan macam ikan asin. Herannya cukup banyak warga negara non-Indonesia yang ikut menumpang kapal. Saya menebak-nebak alasan keberadaan mereka disini dan sampailah kepada 6 kemungkinan : 1) hemat 2) iseng 3) nekat 4) kena tipu 5) memang berjiwa petualang, atau 6) tolol. Hihihi, lah saya saja kalau tidak terpaksa ogah naik beginian secara perjalanannya traumatis, mereka yang bule kok mau-maunyaa, gitu. But I could be wrong, though.

Menjelang jam 2 siang, saya terbangun dari duduk tertidur diakibatkan mencium semacam bebauan yang tidak oke. Ealah pantas, di belakang saya toilet umum ternyata. Entah bagaimana saya bisa anteng sampai tertidur di lokasi tersebut selama beberapa jam. Mungkin arah angin baru saja berubah, atau ada orang membuang sesuatu yang diluar batas wajar indera penciuman di toilet tadi. Apapun itu, berhasil membuat saya beranjak. Naik lagi ke dek paling atas. Waw, matahari sekarang tepat diatas kepala. Tapi angin siang itu juga bertiup syahdu, nyaman dan meninabobokkan. Saya melihat sekeliling, orang-orang santai aja tuh duduk di tempat yang tersinari matahari langsung. Ada juga beberapa bule juga yang cuek bebek setelah mengusap badannya dengan Spf, berbaring santai beralaskan sarung berbantalkan ransel. Gile, serasa di pantai aja kali tuh. Rasa cinta tanah air saya mendadak timbul, “…masa’ gue takut sama matahari di negeri sendiri sementara itu bule-bule bisa menikmatinya dengan hepi!? Gak boleh begini!” dan saya pun nekat berjalan ke deretan kursi kosong di tengah-tengah dek, duduk santai disana sampai tertidur pulas! Tanpa sunblock, tanpa sunglasses, tanpa topi. Hasilnya, wajah saya sukses gosong terpanggang dan terlihat item sampai seminggu kemudiian.

Menjelang pukul 4, pelabuhan Sape di ujung timur Pulau Sumbawa mulai terlihat. Para penumpang bersiap-siap dengan barang bawaan mereka. Tak lupa anak-anak mereka yang sepanjang perjalanan pecicilan, lari-larian gak bisa diam dipentung kepalanya sampai pingsan dan dimasukkan kembali ke dalam karung. Hahaha. Dikata anak kucing?! Geregetan sih melihat anak-anak itu yang tanpa peduli terus kejar-kejaran di atas kapal, seakan-akan meledek saya yang tertidur lunglai digoyang mabuk laut.

Ferry merapat, muatan pun menghambur keluar. Truk-truk, mobil box, minibus dan sepeda motor, keluar beriringan dengan manusia dan sejenis bebek-bebekan untuk mencapai daratan. Dari sini terlihatlah kondisi Pulau Sumbawa yang ternyata sebelas-duabelas dengan Flores : panas, kering dan gersang. Kami menunggu untuk dijemput. Tujuan kami, kota Bima ternyata masih harus ditempuh dengan perjalanan darat selama 2 jam lagi. Tak berapa lama 2 mobil plat merah dari Kantor Pajak Raba Bima datang menjemput, membawa kami membelah padang kering di ujung timur Sumbawa, menuju Bima dimana kami akan menginap satu malam, sebelum besok melanjutkan perjalanan udara ke Denpasar.

Paling tidak, malam itu rombongan kami mencapai Bima dengan wajah sumringah. Ujian-ujian terberat sudah terlewati, akhirnya bisa tidur dengan layak. Oh iya, jangan lupa pesan susu kuda liar buat oleh-oleh. Oleh-oleh dari perjalanan liar. Ha!

Seseorang Untuk Ku Panggil ‘Rumah’.

Aku kembali.
Kota yang kukenal,
yang derap langkah manusianya senada dengan jantungku,
yang udara kotornya tersimpan dalam paru-paruku,
yang bebauan busuknya akrab dengan hidungku,
kota tempat tinggal orang-orang yang ku sayangi lebih dari diriku.

Aku masih disini.
Menatap kota yang kukenal.
Aku masih mengenali sudut-sudutnya,
maka aku menyapa pojok-pojoknya,
lalu aku menggenggam ruas-ruasnya,
mencoba membentangkan lengan,
meraup kenangan yang tercecer,
mengumpulkan jejak waktu yang terputus-putus sejak setahun kemarin.

Aneh.
Kota ini memelukku balik, dengan pelukan yang tetap ramah namun tegas seperti pelukan yang dulu. Tapi pelukan itu tak lagi terasa sama.
Kota ini juga membalas sapa kangenku, dengan sapaan yang tetap karib namun lantang seperti sapaan yang kuingat. Tapi sapaan itu tak lagi terdengar sama.

Ternyata bukan tentang kota ini.
Ini tentang aku.

Aku kehilangan setitik esensi.
Kota ini tidak berubah, tapi aku merasa ini bukan lagi kotaku.
Kota ini tetap yang sama, tapi aku merasa ini bukan lagi kemana ku ingin menuju.

Aku hilang.
Tersesat dalam arus waktu.
Serupa nama dalam bisikan angin. Bagai layang-layang putus.
Tak mampu menemukan pulang.

Adakah mampu lagi aku menjejak?
Dimana?
Kapan?
Kemana?

Kumohon raihlah aku, aku yang melayang-layang tak tahu pulang.

Mudik Susah 2011 (part 2)

24 Agustus 2011, siang.

Sudah beberapa menit saya terdiam di depan lemari pakaian yang terbuka, menatap tumpukan pakaian dengan pandangan berkeliling menarget sasaran. Setelah cukup lama.. Hup! Hup! Hup! Tangan saya gesit mencomoti lembar demi lembar pakaian sesuai daftar : kaos, celana panjang, kemeja, kaos kaki, celana dalam, dan voila! sekarang semua telah rapi tersusun dalam ransel. Langsung saya angkat ke punggung. Tas kecil berisi alat elektronik dan rupa-rupa kabel juga siap disandangkan ke bahu. Merasa semua beres, saya pun membuka pintu depan. Berangkat! Siap menyongsong mudik! Saya merasakan ekstase mengalir dalam darah saya dan menggelorakan semangat!

“Mau kemana?” teman sekontrakan memergoki saya berdiri di ambang pintu penuh digdaya bagai Gajah Mada.

“Lah. Kan mau mudik.”

“Mudik ke hutan? Masa cuma pake kolor doang begitu…?”

Eh? Saya menatap ke bawah. Ups. Ternyata habis keluar dari kamar mandi barusan saya langsung sibuk mikirin barang apa yang harus di-packing, sampai lupa pake baju. Cih. Segera saya menutupi bagian tubuh yang seharusnya tertutup dengan tangan, masuk rumah sambil cengengesan diikuti tatapan shock ibu tetangga sebelah.

Ga salah juga sih saya linglung begini. Kami cuma punya waktu sejam untuk bersiap dan packing. Karena setelah disepakati kami akan melewati jalur darat+laut ke Bima demi mengejar penerbangan dari Denpasar pada tanggal 26 malam, kami harus berangkat sore ini juga. Bukan apa-apa, rute pertama yang harus kami lalui yaitu jalan darat Ende-Labuan Bajo ditempuh selama kurang-lebih 12 jam! Ya, 12 jam itu setengah hari lamanya. Lama banget. Setara misalnya, kalau ada orang yang koprol selama 12 jam, kira-kira pulangnya akan menjadi abon. Apadeh.

Walaupun saya pernah mengalami rute yang sama setahun yang lalu dalam trip ke Kepulauan Komodo, kembali membayangkan perjalanan traumatis ini saja sudah membuat mual. Tekanan makin berat karena kami harus sampai ke Bajo tepat sebelum pagi agar tidak ketinggalan kapal ferry ke pulau Sumbawa yang hanya berlayar 1 kali tiap harinya.

Tiket pesawat Bima-Denpasar sudah ditangan. Tas dan ransel ter-packing sudah. Mobil sewaan beserta supir telah siap di halaman kantor. Sebagai seorang drunken master (tukang mabok) berpengalaman saya pun telah membekali diri secara khusus dengan tujuh kardus Antimo dan satu peti besar Tolak Angin. Tatapan iba teman-teman kantor ketika kami mengucap pamit masih terbaca, “kesiaaaann amat deh loe pesawat di-cancel..” begitu mungkin kata hati mereka.

Jam 3 sore kurang-lebih kami meninggalkan kota Ende, menyusuri jalur selatan yang bersisian dengan pantai. Langit cerah. Pulau Ende di seberang sana melambaikan salam kepada 2 mobil yang beriringan mengantar rombongan mudik ke ujung barat. Garis pantai di selatan Ende ini panjang dan cantik menemani pandang sepanjang jalan, sayangnya laut selatan Flores tidak bisa direnangi karena ombaknya yang keras dan arus bawah yang bergulung-gulung.

3 jam berselang melewati pantai, hutan dan lembah, kami mencapai Mataloko, daerah dataran tinggi di Kabupaten Ngada yang terkenal dengan kebun cengkehnya. Dinginnya suhu gak kenal ampun. Saya meloncat-loncat di tepi jalan tanpa bermaksud sok lincah ketika mobil kami masuk SPBU untuk antri mengisi bahan bakar. Rasanya jemari saya merintil keriting saking dinginnya udara. Di musim panas April-Agustus, malam di Flores selalu lebih dingin karena tiupan angin kering dari gunung. Yah, hitung-hitung latihan, pikir saya sambil tidak berhenti leluncatan, siapa tau besok jadi liburan ke negara dingin. Cihui!

Mampir sebentar mengisi perbekalan di Bajawa, kami lanjut 2 jam melewati hutan bambu yang lebat sebelum sampai di Aimere, batas Kabupaten Ngada dan Manggarai Timur. Di Aimere kami makan malam, tapi apa daya titik ketahan-guncangan tubuh saya yang emang dari sananya udah tipis tak mampu lagi menahan mual. Kami pun minggir dulu deh minggir, beberapa lama sebelum melanjutkan perjalanan. Saya sendiri langsung tenggak antimo 2 karung.

Hampir tengah malam kami sampai di Ruteng, ibukota Kabupaten Manggarai yang merupakan salah satu kota terbesar Flores. Eh ternyata malam di Ruteng seampun-ampun juga dinginnya. Pantas saja Ruteng yang ramai di siang hari bisa berubah sunyi lewat jam 8 malam. Boro-boro ada warung buka untuk kami sekedar menyesap kopi, melihat orang keluar rumah di jam segitu saja sudah syukur banget! Hahaha.

Sempat diwarnai insiden jalan yang tertutup truk nyungsep, kami akhirnya mencapai Labuan Bajo menjelang imsak, langsung menuju pelabuhan dimana banyak warung yang buka sampai pagi untuk mengisi perut seadanya dengan teh panas dan gorengan. Tapi ah, saya memang tidak berniat puasa hari ini, mengingat perjalanan pagi ini akan kami lanjutkan dengan kapal laut, pastinya lebih mual lagi. Saya pun memesan kakap bakar, menikmatinya walau azan subuh sudah berkumandang. Sama juga kan kalau nanti batal di kapal. Hmm. Mudah-mudahan cukup untuk isi perut menolak angin laut seharian nanti.

Loket kapal ferry belum buka sampai dengan pukul 7 pagi, akhirnya kami pun numpang istirahat dan bersih-bersih di kantor pajak Labuan Bajo. Senangnya bisa selonjoran dan rebahan lagi! Aneh rasanya mengunjungi Labuan Bajo hanya untuk transit tanpa niat berwisata, kalau saja kami punya waktu lebih barang sehari-dua hari pasti senang sekali karena bisa sekalian mampir ke Pulau Kanawa, Bidadari dan Rinca, bertemu mbah-nya para cicak, yaitu Naga Komodo.

Matahari meninggi seiring kami pamit kepada teman-teman kantor Labuan Bajo menuju pelabuhan ferry dimana kejutan selanjutnya menunggu.

Mudik Susah 2011 (part 1)

Hari pertama : 24 Agustus 2011

GUBRAK!!
Pagi itu kantor dikejutkan oleh sebuah suara gubrakan. Beberapa ibu kaget terlatah-latah. Pagi di hari Rabu terakhir masuk kantor menjelang libur lebaran yang tadinya santai, damai dan membuai, mendadak riuh. Ucap resah bernada tanya bersliweran di udara. Saya tak bergeming, berdiri mematung di depan kubikel, berusaha mengumpulkan akal sehat tadi yang seperti pecah berserakan. Masih shock, saya hanya mampu menjawab tatapan bingung teman-teman kantor dengan tatapan balik bermuka lempeng tanpa ekspresi. Oh iya. Oknum yang menggebrak meja barusan, tak lain adalah saya sendiri. Sebuah SMS masuk ke handphone saya dan mengacaukan semuanya.

“Pagi info transnusa…dikarenakan alasan operasional maka penerbangan ende denpasar tanggal 26 agustus cancel flight..trimaksih”

Bagus bener. Saya bahkan tak mampu lagi mengumpat saking kagetnya. Pun saya tak sempat memperhatikan bahwa di sms tersebut sama sekali tidak ada kata ‘maaf’. Kurang ajar amat. Pikiran saya mampet, alhasil menggebrak meja itulah reaksi refleks yang saya bisa lakukan. Biarlah pahala puasa saya hari itu dipotong karena tak mampu menahan amarah, lagipula toh pahala puasa saya sepertinya sudah dipotong duluan karena sebelum sms keji itu datang saya sedang asyik mengkhayal sambil browsing Sasaki Nozomi.

Penerbangan Ende-Denpasar dengan pesawat Transnusa pada tanggal 26 Agustus 2011 seharusnya akan menjadi bagian dari perjalanan mudik lebaran saya tahun ini. Bahkan tiket sudah terbeli dari bulan Juni, mengantisipasi kenaikan harga tiket yang amit-amit menjelang hari raya. Seharusnya ini akan menjadi perjalanan mudik yang menyenangkan. Terbayang minggu terakhir masuk kantor akan dilalui dengan santai, kerjaan enteng karena pikiran senang mau pulang, lalu hari Jumat sore kami akan berpamit-pamitan dengan teman-teman kantor, saling salam, dipesani titipan oleh-oleh, minal aidin wal faidzin, dan wusss malam harinya sudah tiba dengan selamat di pelukan keluarga di rumah masing-masing.

Tapi sekali lagi, takdir mengharuskan kami belajar.

Beberapa menit kemudian, setelah lepas dari shock dan berhasil menguasai diri saya pun berkeliling menyebarkan berita buruk ini kepada 7 rekan kantor yang juga akan terbang dengan pesawat yang sama. Reaksi orang lucu-lucu. Ada yang terdiam, melongo, geleng-geleng kepala, ada juga yang walaupun raut wajahnya tenang tapi lalu melangkah mondar-mandir gak keruan. Kami berkumpul di ruangan, berdiskusi menyusun rencana. Beberapa teman yang mudik dengan penerbangan lain ikut berkumpul bersama kami dengan wajah iba, tapi terasa juga guratan gelisah di wajah mereka. Siapa tahu penerbangan mereka juga dicancel? Buat kami yang tinggal di Flores, penerbangan dicancel itu biasa, bahkan bisa terjadi pemberitahuan pembatalan penerbangan baru diperoleh saat kita ada di bandara bermaksud check-in. Kacau kan? Tapi apa daya. Di luar alasan faktor cuaca yang tak bisa digugat, profesionalitas maskapai disini memang masih payah. Masalahnya sekarang, ini menjelang lebaran, bung!

Tuh kan betul, karena menjelang lebaran semua penerbangan yang kami cek sebagai pengganti sudah full-booked semua sampai hari Senin tanggal 29 Agustus. Belum lagi kami harus mencari tiket lanjutan ke pulau Jawa, yang kemungkinan besar harganya juga sudah melangit karena penerbangan dari Flores hanya tersedia tujuan Kupang, Denpasar dan Makasar. Kami yang ramai-ramai pergi ke kantor transnusa pun akhirnya mau tak mau harus menerima pengembalian dana sejumlah harga tiket saja, tanpa kompensasi lainnya. Yang tadinya kami berniat marah, luluh juga setelah melihat mbak-mbak pegawai transnusa. Mereka kan cuma pegawai gak tahu apa-apa, kesian juga dimarahi kayak bagaimanapun gak akan bikin pesawatnya jadi berangkat. Dalam hening, kami kembali ke kantor. Entah apa dalam kepala kami waktu itu, penuh ide rencana atau malah kosong plong.

Rapat mendadak pun digelar. Semua kemungkinan dibahas. Kemungkinan pertama : pasrah untuk membeli tiket sesuai jadwal tersedia di hari Senin yang artinya sampai di rumah pas malam takbiran. Ide pertama ini langsung ditolak hadirin karena selain harga tiket sudah lebih mahal, kami tak mampu menahan derita sakau mudik sampai hari Senin. Belum lagi kalau ditanya tetangga yang sudah dipamiti sebelumnya, “lho mas, kok gak jadi berangkat mudik?” waah rasanya kayak muka digaruk kulit duren ituh.

Kemungkinan kedua adalah memasukkan nama kami ke waiting list penerbangan yang lain yang sudah penuh itu, tapi dengan syarat harus rela digantung tanpa kepastian jadi berangkat atau tidak. Ih, paling ogah deh digantung. Mending gantung aja kita sekalian di pohon toge sampai mati. Kemungkinan kedua pun dengan sukses ditolak.

Karena kami semua juga sudah memiliki tiket lanjutan ke Jawa untuk penerbangan tanggal 26 malam, demi menghindari kerugian finansial yang lebih besar akibat penerbangan 26 malam itu kena charge dan harus dicancel juga, kami pun sampai pada kesimpulan bahwa goal kami yang pertama ada untuk dapat mencapai Denpasar pada tanggal 26 Agustus. Bagaimana pun caranya. Maka muncullah kemungkinan ketiga, dimana kami cuma harus melakukan perjalanan darat ke Labuan Bajo di ujung barat Flores, lalu naik ferry ke pulau Sumbawa, dan terbang dari kota Bima supaya bisa sampai tepat waktu di Denpasar. Ah maaf. Saya tadi ketik cuma, padahal seharusnya ‘cuma’ dalam tanda petik.

And here goes our journey home. Nyok.

Jangan Pergi Ke Pink Beach!!

Semua orang yang pernah mendengar takjub kisah-kisah atau memandang kagum foto-foto yang menggambarkan tentang Pink Beach, sebuah pantai dimana terhampar pasir berwarna unik yang terletak di sebuah teluk di sebelah timur Pulau Komodo yang terkenal karena pemandangannya yang ciamik dan terumbu serta ikan-ikan karang di sekitarnya yang bertebaran mewah, pasti berangan-angan untuk pergi kesana. Sekedar untuk memandang kagum pantai dengan pasir putih yang secara ajaib bercampur serpihan karang merah yang membuatnya merona merah muda, atau berenang dan snorkeling mengunjungi ikan-ikan berwarna cerah di kerajaan terumbu mereka yang serupa taman bunga, pastinya indah dan menyenangkan.

Satu hari yang lalu saya mengunjungi Pink Beach. Dan jika kalian termasuk diantara banyak yang bercita-cita untuk mengunjungi Pink Beach, sebagai teman yang baik saya akan memberi saran : JANGAN pergi ke Pink Beach.

Lho?

Ya. Sekali lagi jangan pergi ke Pink Beach … apabila :

1) Kalian tidak bisa menyewa kapal yang sesuai.
Kapal yang kami sewa kemarin, sebuah kapal penumpang berukuran sedang yang jelas-jelas tidak bisa disebut bagus, tidak bisa merapat sampai ke pantai karena dipastikan akan menabrak karang sehingga hanya dapat menambatkan diri 100 meteran dari pantai. Tidak boleh juga melempar jangkar. Bila dipaksakan merapat, baik lambung kapal ataupun sebaliknya terumbu karangnya yang akan rusak, dua-duanya tidak terdengar seperti ide yang bagus.
Jadi kata-kata ‘sesuai’ diatas dapat saya deskripsikan sebagai kapal yang cukup kecil untuk bisa merapat ke pantai tanpa menabrak karang, atau kapal besar (dan pastinya juga mewah) yang punya fasilitas sekoci kecil bermesin seperti yang kemarin saya lihat dinaiki oleh bule-bule berwajah sumringah. Sial betul. Boat kecil itu cuek saja bolak-balik mengangkut turis dari kapal induk mewah yang bertuliskan nama sebuah dive center terkenal ke pantai, sementara kami cuma manyun mendengki dari atas kapal kami yang pas-pasan.

2) Kalian tidak bisa tiba disana pada waktu yang tepat.
Oke, katakanlah 100 meter itu tidak terlalu jauh dan berenang sejauh itu menuju pantai tidak menjadi masalah buat kalian. Hambatan kedua datang dari alam. Kemarin kapal kami tiba di perairan depan Pink Beach sekitar pukul 11 siang, dan itu adalah kabar buruk. Laut yang sedang dalam keadaan pasang mengalirkan arus yang kuat menuju laut lepas. Beberapa percobaan berenang yang kami lakukan kandas karena tak kuasa menolak arus.
Saat terbaik untuk mengunjungi Pink Beach adalah sekitar pukul 9 pagi dan 3 sore. Pada waktu-waktu tersebut arus air laut relatif tenang dan aman. Karena Pink Beach berjarak 4 jam perjalanan boat dari Labuan Bajo, waktu memulai perjalanan menjadi penting.

3) Kalian bukan perenang handal.
Sehubungan dengan 2 hal diatas, jika kalian mencapai Pink Beach dengan tidak menyewa kapal yang oke dan tidak pada waktu yang tepat, kualitas individu dalam hal menirukan ikan pesut jadi pembeda disini. Buat yang merasa punya keahlian renang yang mumpuni, stamina tukang becak, dan urat nyali yang tebal, silakan mencoba berenang menentang arus laut yang deras sejauh sekitar 100 meter menuju pantai. Buat yang tidak silakan menyesali diri dan kembalilah kesini lain kali dengan perencanaan yang lebih baik.

Hmm. Iya deh saya ngaku kalo saya termasuk diantara orang-orang yang menyesal itu. Hehehe. Tapi kabar baiknya, setelah melihatnya sendiri, penggambaran Pink Beach yang saya tulis di paragraf pertama tulisan ini adalah jujur dan tidak berlebihan lho.

Nah kan! Malah tambah kepingin main ke Pink Beach habis baca tulisan ini? Sukurin! 🙂

*) Pulau-pulau di Kepulauan Komodo (termasuk Pulau Komodo dimana terdapat Pink Beach) dapat dicapai dari Labuan Bajo, kota pelabuhan di ujung barat Flores dengan menggunakan kapal kayu bermesin maupun speed boat.

*) Kepulauan Komodo memiliki puluhan titik penyelaman yang dapat dikunjungi dengan menghubungi operator diving yang banyak tersedia di Labuan Bajo, dengan tontonan utama yaitu Manta (ikan Pari Raksasa), Reef Shark, Lion Fish, Penyu, dan pastinya terumbu karang yang beraneka warna dan rupa. Sementara titik-titik snorkeling yang bagus dapat ditemui di Pink Beach, Pulau Kanawa, Pulau Kelor, dan Pulau Bidadari.

*) Di bawah pengelolaan Taman Nasional Kepulauan Komodo, pengunjung dapat menjumpai satwa endemik kadal prasejarah Naga Komodo di 2 pulau terbesar yaitu Pulau Rinca dan Pulau Komodo.

*) Bila merencanakan trip ke Kep. Komodo, perlu dicatat bahwa trip ini relatif mahal. Pengeluaran besar yang utama selain tiket pesawat ke dan dari Labuan Bajo, adalah sewa kapal untuk transportasi ke pulau-pulau. Negosiasikan rute dan waktu perjalanan dengan awak kapal untuk kesepakatan harga terbaik. Sebagai gambaran trip 2 hari 1 malam dengan rute : Labuan Bajo-Pulau Kanawa-Pulau Komodo (dan Pink Beach)-Labuan Bajo, termasuk bermalam di Kanawa dan berhenti di spot-spot snorkeling, sewa kapalnya saja dihargai sekitar Rp 3,5 juta (maks. penumpang 15 orang), sementara trip serupa dengan Labuan Bajo-Pulau Kanawa-Pulau Rinca-Labuan Bajo dihargai Rp. 1,8 juta (maks. penumpang 15 orang). Penginapan di Pulau Kanawa sendiri tarifnya Rp. 250ribu per cottage (untuk 2 orang).

menyumbangkan masalah

Hmm. Yang kalian baca sekarang adalah draft yang-ke-berapa-ya-gw-lupa sebelum akhirnya saya berhasil ngepost tulisan ini. Gak tau deh, draft sebelum-sebelumnya saya hapus bahkan sebelum tuntas paragraf pertama. Kayaknya bingung aja gitu mau mulai darimana.

Makanya biar sayanya gak terus-terusan bingung memulai padahal penasaran mau nulis juga, kali ini, gimana kalo kita mulai dari inti cerita? Oke, jadi gini. Menurut saya, di dunia ini gak ada satupun permasalahan yang terlalu pribadi sampai harus kita simpan sendiri. Gak ada.

Saya tentu, punya masalah juga. Banyak pula, kalau mau dihitung-hitung. Bayangkan, tiap hari ada aja masalah yang nyangkut di pikiran. Soal keluarga lah, kerjaan lah, pingin ini, pingin itu, soal ini, soal itu. Wah kalau beneran mau ditelusuri rekam jejak tiap masalah yang mampir nyangkut di kepala saya, jangan-jangan gak cukup diberkas dalam satu gudang penuh. Atau gampangnya katakanlah tiap hari ada satu aja masalah yang harus saya pikirkan, jadilah sepanjang hidup ini kurang lebih ada (24×365)+(2×30) masalah yang saya pernah pikirin. Sebagian terpecahkan, sejalan dengan waktu ada yang terlupakan, tapi banyak juga yang masih kepikiran sampai sekarang. Berapa jumlahnya? Ya pokoknya banyak.

Nah. Dari situ saya belajar. Yang namanya masalah gak akan ada habisnya. Terus muncul paling tidak satu setiap harinya. Kadang juga masalah yang sama berulang namun dalam situasi yang berbeda. Lain waktu malah berbagai masalah datang di saat yang sama, wah.

Selanjutnya kalau kita tau masalah ini gak ada habisnya, ngapain juga repot-repot kita hitung-hitung ya? Udah banyak diitungin lagi, hmm. Yang jelas kita juga tau, di diri setiap orang, tersimpan masalah, gak peduli kaya-miskin, ganteng-jelek, pintar-bodoh semua punya masalah sesuai kadarnya masing-masing.

Sekarang. Ketika kita ngerasa kita punya masalah banyak, coba deh, gimana kalau kita sumbangin sebagian masalah kita punya ke orang lain yang membutuhkan. Eh jangan manyun dulu, ini serius, kalau punya uang banyak aja harus disumbangin, masa’ kalau banyak masalah gak boleh? Hahaha, gini deh saya jelasin.

Setiap manusia yang hidup di dunia ini kan pasti punya pengalaman hidup yang berbeda. Sehubungan dengan itu, masalah yang dialami pun pasti berbeda juga. Terus, cara tiap-tiap orang menghadapi masalah pasti akan berbeda lagi, tergantung dari lingkungan, cara pandang dalam hidup, latar belakang, dan sebagainya. Karena itu, setiap masalah itu sifatnya unik, seunik kita, manusia. Setiap masalah yang muncul di dunia, tidak akan pernah sama. Jadi jangan pernah merasa masalah kita sudah terlalu banyak, sampai-sampai gak perlu lagi memikirkan masalah orang lain. Cih, sombong amat.

Saya pikir, betapa kerennya jika masalah yang kita punya bisa disebar ke orang lain, karena ketika kita berbagi masalah, kita juga berbagi ide, dan berbagi pengalaman hidup. Contoh gampang misalnya, seorang teman bercerita, harga bensin yang makin mahal membuat dia harus menjual mobil kesayangannya, yang terkategori boros. Itu dilema berat buat teman saya. “Gimana ya, om?” dia minta pendapat saya. “Ya itung-itungan aja dulu, kebutuhan lo buat pake mobil besar apa gak. Klo kira-kira jarang dipake juga ya jual aja.” gitu deh saya jawab sebisa saya. Ya sebisa saya dong, lha pernah punya mobil aja gak, gimana bisa saya benar-benar merasakan dilema dia?

Dari masalah yang teman saya ceritakan kepada saya, apa masalah saya kemudian jadi bertambah? Hmm gak deh kayaknya. Yang bertambah malah, pengalaman hidup saya. Saya bisa belajar dari pengalaman teman saya, kalau besok dapat rejeki untuk beli mobil *amin!!* pilihlah mobil yang hemat bensin, karena harga bensin makin mahal.

Di sisi lain, mungkin, dari pendapat yang saya berikan teman saya jadi punya pandangan yang berbeda untuk memutuskan masalah yang dia hadapi. Dengan adanya pandangan yang berbeda ini, dia jadi lebih ringan untuk memutuskan, karena dengan memberinya saran, saya juga memberinya dukungan dan perhatian.

Implementasinya sama kok, ketika masalah yang dihadapi bukan lagi soal bendawi, seperti contohnya mobil tadi, tapi lebih jauh, misalnya hubungan antarmanusia. Ingat, gak ada masalah yang terlalu pribadi untuk disimpan sendiri. Dan di setiap masalah, ada pelajaran hidup.

Gak perlu sungkan deh buat membagi masalah kita ke orang lain, toh masalah kita ya keputusannya akan tetap berada di tangan kita, gak serta-merta kita cerita terus orang yang kita ceritain jadi ketularan punya masalah yang sama kan? Begitu juga, yang terbaik bisa kita lakukan tiap kali diberi kehormatan, kesempatan dan kepercayaan untuk mendengarkan masalah orang lain adalah, memberi pendapat yang jujur, saran yang tulus, dan mendoakan agar masalah tersebut cepat berlalu. Jangan lupa untuk bersyukur karena kita belum menemui masalah seperti itu di hidup kita, dan selalu mengambil pelajaran sehingga mudah-mudahan masalah yang sama tidak terjadi kepada kita di masa depan. Cukup itu saja.

Ayo sini, saya butuh sedikit aja masalah dari tiap-tiap kamu. Ibarat barang koleksi, masih banyak masalah yang belum pernah saya temui dan saya ambil hikmah dari sana. Koleksi masalah saya masih jauh dari cukup! Haha.

Saya sendiri juga punya masalah nih, boleh kok kalau ada yang mau, saya sumbangin ke kamu. Yang mana aja, soal keluarga, soal pekerjaan, soal percintaan sini saya bagi-bagi. Siapa tau pikiran saya jadi lebih ringan, dan bisa membuat kamu belajar dari pengalaman hidup saya. Oh ya, nambahin sedikit. Gak ada seorangpun yang pengalaman hidupnya lebih banyak dari yang lain. Yang membuat beda hanyalah berapa banyak ilmu dan kebaikan yang bisa kita ambil dari pengalaman hidup kita masing-masing.