Lanjut ke konten

masa depan

Desember 25, 2008

“Kamu akan pergi?”
“Mungkin.”
“Kapan?”
“Entah.”
“Kemana?”
“Belum tahu.”
“Mm…?”
“Kan sudah kubilang, aku sama tidak tahunya dengan kamu saat ini.”
“Tak satu pun?”
“Pertanyaanmu bisa kujawab? Ya.”
“Tapi kau terlihat resah.”
“Resah akan ketidaktahuan.”
“Betapa rugi.”
“Karena aku tidak tahu? Sungguh maaf, tapi aku teresahkan oleh ketidaktahuan akan takdir yang tergaris untukku. Dan manusia lemah macam aku takkan mampu mengetahui takdir.”
“Nah itu. Rugimu karena ketidaktahuanmu menbuatmu resah.”
“Tentu. Aku ingin tahu banyak supaya bisa kurancang detik-detik yang akan kulalui.”
“Agar sesuai dengan apa yang kau inginkah. Seindah yang kau inginkan.”
“Ya…walaupun aku sadar angin tak selalu bertiup ke barat.”
“Berharaplah akan seperti itu. Dan melangkahlah.”
“Aku takut melangkah tanpa tahu apa yang akan kuhadapi.”
“Kembali dengarkan perkataanmu yang tadi. Kamu tahu kau tidak tahu apakah hari ini hujan atau tidak sekalipun kau adalah pembawa berita ramalan cuaca kan?”
“Sekalipun sangat dekat aku berdiri dengan takdir, aku takkan pernah bisa meyakini takdir.”
“Karena kau hanyalah kaki-tangan takdir.”
“Aku sangat mengerti itu. Dan aku percaya takdir selalu menuntun kita pada yang terbaik. Lalu kenapa aku tetap takut?”
“Karena kau masih menempatkan dirimu sebagai ‘si harus tahu’ dan terlalu sibuk akan wacana ‘keinginan’. Kau merasa ‘harus tahu’ dalam misimu mencapai ‘keinginan’.”
“Padahal ada yang kita tidak perlu tahu di dunia ini. Sepertinya itu maksudmu.”
“Satu lagi. Jadikanlah keinginan sebagai pemacu nafas, daripada sebagai titik yang harus diraih. Itu akan lebih menyenangkan.”

From → Fiksi, puisi

Tinggalkan sebuah Komentar

Tinggalkan komentar