Lanjut ke konten

susahnya mudik 2008 (part 1)

Desember 25, 2008

Lebaran 2008.

Hey, ini lebaran pertama sejak gw resmi berganti domisili ke Maumere. Dan dengan semangat menggebu-gebu nggak mau kalah dari para perantau lain se-Indonesia, gw pun menyiapkan diri untuk mengalami yang namanya : m-u-d-i-k. Susahnya, banyak orang yang protes waktu gw bilang mudik gw ke Jakarta. “Lho mas? Mudik kok yo ke ibukota tho?” Nah, bingung dah gw jawabnya. Salah sapa juga gw ga punya udik? Lagian kalo udik diasosiasikan (ciaelah, istilahnya!) sebagai kampung halaman ato hometown, ya emang cuma Jakarta itu udik gw… Oh ya hubungan antara Jakarta dan udik ntar dibahas di lain paragrap yak. Balik ke acara mudik 2008!

Sial, padahal harga tiket pesawat dari dan ke Maumere mahal dari sononya, masih tega aja maskapai-maskapai itu memberlakukan tuslah. Akronimnya jadi gini, TUS-LAH = puTUSLah sudAH. Yang bakalan ‘putus’ itu harapan para perantau berdana minim macam gw dan beberapa temen serantau, sesama pendatang di bumi Maumere ini. Harapan yang telah terimaji di kepala sungguh indah, oh bayangkan sejuknya hati bersuka cita merayakan hari raya bersama sanak keluarga di kampung halaman. Betapa..!

Kesenangan semu, soalnya masa depan mungkin bisa terancam kalo ternyata ga bisa balik ke perantauan saking tabungan yang terkumpul setahun ini hanya cukup dibelikan tiket sekali jalan.

Lalu apakah gw terkalahkan situasi? Oh tentu tidak! Gw pun mengadakan penelitian jenis transportasi apa aja yang bisa digunakan mudik. Mari kita telaah satu persatu.

1)
Jalan darat : paling capek, paling makan waktu, tapi paling murah. Rutenya dari Maumere naik bus kayu antar kota selama dua hari tiga malam (ajah!) sampai Labuan Bajo, ujung barat pulau Flores (yang mana perlu diketahui kalo jalan di Flores berkelok dan berbukit, ditambah ada resiko nyawa karena supir bus-bus ini secara bijaksana seringkali tidak rela melupakan budaya minum alkohol mereka di sepanjang perjalanan), kemudian naik kapal feri menuju kota RabaBima, melintasi pulau Sumbawa, menyeberang laut lagi ke pulau Lombok, melintasi Lombok, menyeberang ke Bali, lanjut dan menyeberang selat Bali untuk (akhirnya!) sampai di Banyuwangi, Jawa Timur dalam kondisi yang mungkin lebih mengenaskan dari korban serangan ikan hiu. Kemungkinan besar lagi, gw akan menginjakkan kaki di Jakarta keesokan harinya dalam keadaan termutilasi. Alternatif mudik jalan darat ini pun gw coret, karena kayaknya bisa lebih berbahaya dari meminum aspal.

2)
Jalan laut : agak capek, agak makan waktu, tapi lumayan murah. Pelabuhan Sadang Bui di Maumere (ternyata) termasuk pelabuhan besar di kawasan Nusa Tenggara Timur. Kapal yang mampir kesini juga lumayan beragam dari bentuk sampai rute pelayarannya. Nah, gw jadi tertarik juga nyobain mudik naik kapal deh. Kata temen-temen yang udah pernah, berlayar dengan kapal dari Maumere menuju Surabaya walaupun lama (maksimal tiga hari dua malam) tapi cukup nyaman dan menyenangkan. Apalagi di atas kapal kita bisa pesan kamar, jadi kayak nginep di hotel terapung gitu lho! Hoi, gw telah menentukan pilihan! Mari berlayar! Namun kok ya apa daya nasib berkehendak lain. Setelah tanya agen tiket kapal sana-sini, didapatlah informasi kalo jadwal kapal yang akan berlabuh di Maumere untuk kemudian berangkat ke Surabaya baru dapat diketahui paling cepat seminggu sebelum tuh kapal sampai sementara kapal itu belum tentu sampai di Maumere pada saat yang diperkirakan (ngerti ga? ga? sama). Waduh. Padahal kami butuh kepastian, supaya bisa menentukan alternatif lain gitu. Tak bisa lain, diantara bimbang kami menunggu.

3)
Jalan udara : paling nyaman dan ga capek, paling cepat sampai, tapi tarifnya bisa membuat orang secara tiba-tiba mendapatkan muntaber. Samasekali ga perlu penjelasan khusus kalo mudik naik pesawat, tinggal tentukan tanggal, pesan tiket, bayar, pulang ke rumah, masuk dan kunci kamar, lalu menangislah meraung-raung meratapi harga tiket yang tidak adil itu. ‘Sangat simpel’ kan? Tapi, kami harus cepat. Memesan tiket makin dekat dari waktu terbang, tarifnya akan semakin mencekik. Booking tempat jauh-jauh hari juga tidak menolong karena tanpa pemberitahuan seat yg sudah booked bisa saja diberikan kepada pihak yang mau membayar lebih tinggi (bukan ngga mungkin karena hanya Merpati dan TransNusa yang ada di Maumere, dua maskapai ini dengan mudah bisa mengatur tarif dan pemesanan tiket seenak udelnya..ups maaf, mestinya gw bilang ‘sesuai kebijaksanaan’ mereka). Oho, waktu semakin mendekati jadwal mudik. Dengan kecemasan akan dana yang terbatas, kami benar-benar harus menentukan dengan cepat…

Dan beberapa hari berlalu. Tampang makin kusut. Sempat terbayang berlebaran di Maumere, dimana kami bisa berkeliling kota, bersalaman, mampir ke tempat kerabat dan saling bersulang moke (tuak flores)! Sungguh hebat. Lebaran yang indah di tanah Flores.

Cling! OH! Tiba-tiba bohlam 5W di kepala bersinar. Iya! Ada alternatif lain ternyata!

Kami lalu mengatur strategi mudik baru yang terjangkau dana, dengan menggabungkan beberapa moda transportasi dalam satu kali perjalanan! Hooooo! Brilyan! Genius! (Lebay!) Hari-hari selanjutnya, hidup seperti menemukan titik cerah.
Idenya gini. Kami (bergerombol lima orang) akan berangkat menuju Denpasar, Bali dengan pesawat, menghabiskan satu malam+satu hari esoknya di Bali untuk sorenya menuju Surabaya dengan menggunakan bus. Bus kami masuk ke kapal feri dan menyebrang selat Bali dari Gilimanuk ke Banyuwangi. Pagi sampai dan berpisah menuju kota masing-masing di Terminal Purabaya, Surabaya. Khusus buat gw, sorenya dari Surabaya gw lanjut naik kereta dan sampai (InsyaAllah!) besok paginya di Stasiun Gambir. Hurray!! This plan, this excites me.

From → Drama Hidup

Tinggalkan sebuah Komentar

Tinggalkan komentar